Oleh : A. Wahida (Pemerhati Budaya Wajo)
MEDIABAHANA.COM, WAJO — Tosora yang merupakan pusat Kerajaan Wajo pada zaman dahulu kala, sempat menjadi hutan duri sejak ditinggal penghuninya pada tahun 1898, ketika Tosora runtuh (Rumpa’na Tosora).
Tosora kembali dibuka dan dibabat di masa Andi Patongai menjadi Kepala Wanua I bersama Haji Sulaiman.
2 Tokoh ini menjadi motor penggerak bersama Eks Arung Patappulo dan keturunannya, dibantu masyarakat.
Mengenal Lebih Dekat H. Sulaiman
Haji Sulaiman atau La Mappabengnga bin La Pa’bicara Arung Ma’bicara Wajo / Arung Patappulo, Katte / Khatib Tallotenreng bin Nuruddin Arung Uju’kkalakkang, dilahirkan di Tosora sekitar tahun 1922 dari hasil perkawinan La Pabbicara dan We Cumma
Diusia 4 tahun ibundanya, We Cumma Wafat, karena tenggelam terjebak sumur saat banjir, usia 7 tahun Ayahandanya La Pa’bicara Wafat dan sebelumnya mewariskan Pusakanya.
Haji Sulaiman Seorang pejuang tanpa nama, generasi ke 23 dari La Paukke Arung Cinnotabi Cikal Bakal Kerajaan Wajo bin La Palekke Arung Mampu menikah dengan We Cenning Putri Datu Cina ( Keturunan Batara Guru -> Sawerigading ) dan generasi ke 8 dari La Maddukkelleng Sultan Pasir, Arung Sengkang, Arung Peneki Petta Pamaradekaengngi Wajo, Arung Matowa Wajo XXXI tahun 1736 – 1754, berjuang bersama Hj Andi Ninnong Datu Tempe, Ranreng Tuwa Wajo, Arung Matowa Wajo ke XXXVII tahun 1949 – 1950, setelah Andi Sumangerukka Datu Pattojo, Arung Matowa Wajo XXXVI tahun 1949 yang menggantikan Andi Mangkona Datu Mario, Arung Matowa Wajo ke XXXV tahun 1933 – 1949.
Setelah Negara Indonesia Timur terbentuk pada tahun 1947, Belanda angkat kaki dari Sulawesi Selatan.
Haji Sulaiman masa itu, lebih dikenal dengan nama Tuan Guru Sulaiman, salah satu perintis pendidikan di Wajo khususnya Kecamatan Majauleng.
Beliaulah yang mendirikan Sekolah Rakyat di Sengkang, sekarang masuk wilayah Kabupaten Wajo, Sul Sel, bersama beberapa guru lainnya.
Tuan Guru Sulaiman dan Andi Patongai kemudian ditugaskan ke Tosora mendirikan Sekolah Rakyat dan membangun kembali Tosora.
Haji Sulaiman bersama Andi Patongai Kepala Wanua Tosora I ( Sekarang Kepala Desa) bersama keluarga besar Sisa – sisa Ex Arung Patappulo yang masih ada di Tosora, membabat hutan untuk menjadikan Tosora sebagai pemukiman kembali.
Dan akhirnya Tosora dibuka kembali secara resmi, setelah ditinggal sebagian besar penghuninya sejak tahun 1898 saat perang Rumpa’na Tosora.
Setelah Tosora dibabat karena ditinggal para penghuninya, dibuat tata desa kemudian didirikan Sekolah Rakyat oleh Tuan Guru Sulaiman.
Awalnya mendirikan Sekolah Rakyat 166 Tosora, sekarang SDN 166 Tosora, sekarang Desa Tellulimpoe di Kecamatan Majauleng Kabupaten Wajo.
Menyusul kemudian, ditugaskan mendirikan Sekolah Rakyat, SDN 167 Tosora, SDN 168 Tosora, SDN Paung, SDN Limpua, SDN Kobbae, SDN Mellengnge, SDN Lamasewanua, SDN Gancengnge, SDN Uraiyyang, SDN Rumpia, SDN Atapange, SDN Sarammae di Kabupaten Wajo Provinsi Sulawesi Selatan.
Sebagai bekas Pejuang, sambil bertugas mendirikan sekolah dan mengajar dari dusun ke dusun, di masa PKI, juga menjadi Ketua dan Menumpas G 30 S/PKI diTosora dibawah Pimpinan Hj Andi Ninnong saat perang gerilya.
Sebagai seorang Guru suatu ketika dihadang oleh Segerombolan PKI dibawah jembatan, lewat begitu saja tanpa aksi dari orang-orang yang menghadangnya, setelah hilang dari pandangan orang-orang baru menyadarinya dan ribut karena menyaksikan lewat tanpa berbuat apa-apa, seringkali Pedang bertengger dilehernya tetapi selalu lolos dari maut.
Karena kejujurannya dan tidak terima janji -janji, Tuan Guru Sulaiman mengundurkan diri dan berhenti dari Guru, kembali bertani dan berkebun di Tosora.
Kebutuhan keluarga kemudian membawanya pergi ke Lamegongga Kolaka Sulawesi Tenggara untuk berkebun cengkeh. Suatu ketika saat berkebun terjadi musim kemarau panjang orang-orang berkumpul berdebat soal hujan.
Beliau berkata kepada para pekebun bahwa apabila ALLAH berkehendak malam ini akan terjadi hujan, orang-orang tidak percaya. Lalu beliau pulang sholat minta hujan dan Subhanallah malam itu hujan deras sekali, air hujan memenuhi drum dan ember. Masya Allah pohon cengkehpun terhindar dari kekeringan.
Setelah harga cengkeh anjlok sebelum masa Reformasi beliau meninggalkan Kolaka kembali ke Tosora.
Kisah lainnya Di La Bacoafi kampung Tua Keramat di Tosora terdapat Situs berbentuk U penandanya Burung Kao dan pohon asam, masyarakat sekitar tidak akan pernah berkeliaran karena tempatnya keramat dan banyak ular. Hanya Haji Sulaiman dan sepupunya I Campi binti La Makkatajangeng Ponggawa Wajo Tuwa / Ponggawa Tosora yang berani kesana. Di La Bacoafi itu terdapat makam Buyutnya Puang Wali Baso La Gende / Puang Wali Baso Summanglangi.
Banyak pengalaman masyarakat bersama beliau dimasa hidupnya dalam hal pengobatan baru diketahui setelah meninggal. Apa yang terjadi dalam riwayatnya tentu semua atas ijin dan Kuasa ALLAH.
Ketika kecil bersama Ayahandanya La Pa’bicara, beliau digendong berjalan diatas air menyeberang sungai karena banjir, kalau hujan tidak kena hujan, dan lain-lain pengalamannya. La Pa’bicara sepupu dari Syekh Abdul Qodir Jaelani Kali Wajo ke IX / KH Abdul Qodir Jaelani Qadhi Wajo je IX, kharomahnya hampir sama.
Masa tuanya dihabiskan di Sengkang Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan bersama isteri Hj Andi Temmusia binti Andi Pannu bin La Oddo Petta Pabbicara Soppeng dan anak, cucunya.
Haji Sulaiman wafat pada tanggal 01 November 2009, Pukul 08.00 WIT, beliau menghembuskan nafas terakhirnya di tengah-tengah isteri, anak, menantu, cucu, dan cicitnya.
Saat dimandikan dan saat kain kafannya hendak ditutup tersungging senyum dari bibirnya, disaksikan keluarga, jenazahnya sangat ringan, tanah makamnya juga sangat gembur, menurut penggali makam sampai tak berkeringat padahal tanah-tanah sebelumnya sangat keras. Masya Allah.
Beliau berpesan tidak dimakamkan secara adat. Wafat karena usia tua di Jl Lembu Sengkang dimakamkan di Tosora. Sejatinya beliau berpesan untuk dimakamkan di seputar Mesjid Tua Tosora tempat Makam Penyebar Agama Islam Syekh Jamaluddin.
Haji Sulaiman / La Mappabengnga ingin berdampingan dengan ibundanya We Cumma binti Baso Bo’di bin Puang Wali Baso La Gende. Tetapi kebijakan pemerintah desa tidak memperkenankan. Beliau kemudian dikebumikan di Aka. (**)
Editor : HS. Agus