MEDIABAHANA.COM – – Ketika era digital mengambil peran dalam sistim komunikasi , maka tidak hanya membuka peluang akan tetapi menghadirkan banyak tantangan, rintangan, gangguan. dan hambatan . Para praktisi media merasakan, oplah media cetak mulai menurun dan timbul idea perampingan dan penyederhanaan, pengurangan tenaga kerja dan efisiensi. Suatu gerakan out of the box pengelolaan media mengedepankan managemen situasional.
PENDAHULUAN
Hari Pers Nasional HPN merupakan kegiatan tahunan yang dilaksanakan masyarakat Pers nasional yang dimotori oleh Persatuan Wartawan Indonesia PWI dengan mengikut sertakan berbagai organisasi pers seperti; Dewan Pers, Serikat Perusahaan Pers, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia P3I, Serikat Grafika Pers SGP, Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia ATVSI, Persatuan Radio Swasta Nasional Indonesia PRSSNI, Asosiasi Televisi Lokal Indonesia dan Serikat Media Siber Indonesia. HPN kali ini berlangsung di Kota Surabaya Provinsi Jawa Timur pada tanggal 9 Februari 2019 dengan tema “Pers Menguatkan Ekonomi Kerakyatan Berbasis Digital”.
Mencermati tema di atas maka terdapat sekurangnya dua sisi penting yang bisa ditangkap, yang pertama, bahwa pers sebagai subyek dengan dukungan teknologi digital dan sumber daya manusia SDM yang profesional dan berkompeten akan mampu memberi injeksi pembaharuan dan pencerahan bagi masyarakat guna penguatan ekonomi kerakyatan. Yang kedua, pers sebagai obyek tentu tidak terlepas dari penekanan ekonomi kerakyatan karena di sana ada Perusahan Pers yang juga harus dikuatkan dengan dukungan finansial dan teknologi digital sehingga tetap eksis, bertahan, dan mampu menyesuaikan diri terutama di era persaingan media saat ini.
TANGGAL 9 FEBRUARI
Saya tidak ingin menyinggung polemik atau perbedaan pendapat mengapa perayaan Hari Pers Nasional HPN diselenggarakan setiap tahunnya pada tanggal 9 Februari yang nota bene merupakan hari jadi Persatuan Warawan Indonesia PWI. Yang saya tahu bahwa itu bukan suatu yang kebetulan, tetapi suatu kepastian dan berkaitan dengan sejarah perjuangan Pers Indonesia sehingga perayaan HPN diselenggarakan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang ditandatangani Presiden RI ke-2 Soeharto.
Setiap tanggal 9 Februari masyarakat Indonesia, terutama insan pers, memperingati Hari Pers Nasional HPN sebagai sebuah pesta rakyat pemilik pers yang merdeka dan independen. Pers sebagai pilar ke empat pembangunan demokrasi Indonesia memegang peranan penting sebagai pembentuk opini publik yang paling potensial dan efektif. Pers sebagai pranata sosial yang dalam melaksanakan fungsinya untuk kepentingan publik.
Perayaan HPN dilaksanakan setiap tahun secara bergantian di ibu kota provinsi, walau dengan tema berbeda dan peserta berasal dari provinsi berbeda pula, namun mereka memiliki tujuan sama yakni sebagai ajang mengungkap pendapat sekaligus memetik manfaat dari perayaan HPN yang setiap tahunnya dihadiri oleh Presiden Republik Indonesia.
Ada tuntutan psikologis memang, bahwa pers harus tumbuh dan berkembang sejalan perkembangan teknologi dan peradaban manusia, karena disadari bahwa pers ikut membangun karakter bangsa (character building) menciptakan bintang dan mencetak tokoh, sekaligus menyejukkan suasana. Untuk itu pers tidak bisa dipandang sebelah mata oleh siapa pun termasuk mereka yang menggeluti profesi sebagai penyandang gelar “pengawal kebenaran dan keadilan”, dia itu adalah wartawan sosok abdi negara dan abdi masyarakat yang senantiasa menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi dan golongan, memiliki idealisme sebagai bagian dari Pers Indonesia. Mereka bersama perusahaan pers, media, Serikat Penerbit Surat Kabar, dan oraganisasi wartawan Indonesia bekerja sekuat tenaga guna menggeser bahkan menghentikan penyebaran hoaks atau berita bohong. Memang tugas mereka bukan pekerjaan gampang, karena itu perlu gerakan bersama dan upaya berkelanjutan (sustainable) dengan cara mewujudkan karya jurnalistik berkualitas, bermoralitas dan berintegritas yang semuanya termaktub dalam Kode Etik Jurnalistik KEJ.
Dengan independensi pers menyampaikan kritik yang kadang kala pedas tetapi tetap pada prinsip metedologis berdasar fakta dengan disiplin ferifikasi sehingga pandangan-pandangan pers dapat dipertanggung jawabkan.
ERA DIGITAL
Berbicara tentang teknologi digital maka pikiran kita tertuju pada internet. Kini, peluang media terbuka untuk menggunakan berbagai macam flatform yang tersedia pada internet sebagai salah satu sistem pengiriman pesan. Para praktisi media tentu saja cenderung menggunakan flatform yang menguntungkan tetapi idealisme wartawan tetap menjadi bagian perjuangan pers dalam membina dan menjaga kedaulatan rakyat Indonesia.
Teknologi digital merupakan potensi yang perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya karena memiliki banyak kelebihan; mempermudah yang sulit, mempercepat yang lambat, menaikkan yang rendah dan menggeser yang tertinggal. Selain itu juga dapat memberi dapak buruk apabila pengguna teknologi digital kurang memahami hakekat dan tujuan pentingnya suatu kemajuan teknologi. Hal yang pasti, bahwa era digital adalah era keterbukaan. Semua sekat yang ada di era analog diruntuhkan sehingga tidak ada lagi sekat atau dinding pembatas kecuali usaha berupa kehati-hatian bagi penggunanya. Kini masyarakat digempur dengan serangan bertubi-tubi media sosial dengan keleluasaan penggunanya atas alasan kebebasan mengeluarkan pendapat, ternyata selain berdampak positif juga memiliki efek negatif.
Bahkan dampak negatif itu bisa kembali pada diri pengguna media sosial tersebut. Memang kita perlu berhati-hati mengunakan setiap jenis media karena seperti kata orang bijak “media itu bagaikan pedang bermata dua, jika penggunanya tidak berhati-hati maka bisa mencederai pemiliknya. “Agar media sosial dapat bermanfaat, maka harus patuh pada Kode Etik Pers” (Bagir Manan.)
Di era digital bermunculan begitu banyak media ciber dan on line bagaikan jamur di musim hujan sehingga tidak lagi memperhatikan kualitas penyajian beritanya. Walau demikian cukup menggangu kestabilan perusahaan pers khususnya media cetak sehingga mengalami penurunan oplah dan berdampak pada pengurangan karyawan. Walaupun demikian, para insan pers media cetak tetap optimis bahwa media cetak tetap bertahan sejauh mereka mampu meningkatkan kualitas karya jurnalistiknya, mengedepankan faktor daya guna dan hasil guna serta produktifitas tinggi. “Karya jurnalistik yang baik dan berkualitas tetap dicari oleh pembacanya” (Dahlan Iskan.)
Hanya wartawan profesional dan berkompeten yang memiliki keterampilan menulis dengan baik mampu menghasilkan karya jurnalistik berkualitas yang bisa memberikan inspirasi khalayak dalam rangka penguatan ekonomi kerakyatan berbasis teknologi digital. (*)